SEMAPHORE
Namanya Kak Rayan. Aku bertemu
dengannya sekitar awal bulan Mei tahun 2009 dalam event Jambore Ranting di Bumi Perkemahan Bantimurung, Sulawesi
Selatan. Aku sebagai peserta dan dia panitianya.
Reguku,
putra dan putri yang beranggotakan masing-masing 10 orang, memasuki arena
Jambore dengan sama sekali tidak tenang. Di sepanjang jalanan masuk arena, kami
terus beryel-yel. Membuat semua sorotan mata tertuju pada kami. Kami baru
berhenti tepat di depan meja registrasi peserta. Selang waktu beberapa detik,
sorakan bertumpah ruah dari panitia dan peserta lainnya.
“Oh Bombers Scout ya? Inne Marissa
ya?” Aku mengangguk cepat ke arah Kak Eki, salah satu panitia yang sudah
kukenal sebelum event ini.
Pramuka sekolahku dinamai Bombers
Scout. Bombers, singkatan dari Bocah SMP 1 Mandai Berkarya Selalu. Sedangkan
Scout berarti pramuka dalam bahasa Ingggris.
Setelah registrasi, kami ditunjukkan
lokasi kapling tenda kami dan diperkenalkan pada Ibu Lurah perkemahan yang
selanjutnya kami panggil Bunda. Bunda menjelaskan kegiatan malam ini dan semua
peraturan yang harus kami patuhi. Setelah itu, kami baru diizinkan mendirikan
tenda.
---
Ini jambore.
Tidak ada kegiatan yang diperlombakan. Semua kegiatan hanya permainan dan
pembelajaran. Setiap satu grup pun di acak. Tidak ada berasal dari satu sekolah
dalam grup yang sama.
Hari ke tiga jambore, hari
pembelajaran semaphore yang di tutori Kak Rayan. Kak Rayan menjelaskan dan
mengajarkan kami. Terus menggerak-gerakkan bendera semaphore dan menyebutkan
hurufnya. Tapi aku memperhatikan yang lain. Yang lebih menarik dibanding bendera
semaphorenya.
Tinggi,
kulit putih langsat, bidang, murah senyum, manis, dan… Lamunanku buyar
ketika ditunjuk dan tidak bisa menjawab.
“Namamu siapa? Ga perhatiin ya? Kok ga bisa jawab?” dan
lembut. Kulanjut lamunanku. Dia bertutur dengan lembut.
Pembelajaran
semaphore sudah usai. Kak Rayan menyuruhku tinggal dulu. Dibawah pohon rindang
bersamanya. Dia berdiri dua meter dariku.
“Kamu dari Bombers ya dek?” Aku mengangguk.
“Bombers kok gak hafal semaphore?”
“Iya Kak. Saya memang agak susah belajar semaphore. Gak tau
kenapa. Terus selama ini saya juga sering tugasnya dibagian pioneering, pasang
bongkar tenda, pokoknya tentang tali dan tongkat, bukan semaphore kak.
Semaphore susah.” Aku tersenyum dan terus menyipit-nyipitkan mataku.
Selanjutnya, Kak Rayan banyak
menjelaskan tentang semaphore. Tentang cara mudah belajar semaphore. Tapi tetap
saja, aku tidak bisa.
“Tapi itu kamu bawa tabung semaphore. Semua anggotamu juga
selalu bawa tabung semaphore.”
“Tapi punyaku ga ada isinya kak. Cuma tabung kosong.” Kubuka
tabung semaphore yang selalu ku sampirkan di punggung lalu kutunjukkan sambil
menyeringai lebar, Kak Rayan menertawai.
---
Malamnya, ketika istirahat di tenda,
kami saling bertukar cerita. Kuceritakan semua kejadian tentang Kak Rayan.
Mereka penasaran dengan sosoknya. Mereka bilang aku jatuh cinta. Padahal tidak
begitu. Aku sadar umurku dan Kak Rayan pasti terpaut sangat jauh. Saat itu aku masih
kelas 1 SMP dan Kak Rayan kira-kira kelas 1 SMA. Tapi di hari-hari berikutnya,
aku terus menceritakan pertemuan-pertemuan tidak sengajaku dengan Kak Rayan
pada mereka. Mereka semakin yakin kalau aku jatuh cinta. Tapi aku tidak. Bukan
hanya Kak Rayan. Aku juga menjadi akrab dengan Bunda. Katanya aku lucu entah
dari sisi mana.
H-2 berakhirnya jambore. Hujan lebat
mengguyur bumi perkemahan saat kami ada pembelajaran di aula. Kami berlari
menyelamatkan apapun yang masih ada di dalam tenda. Terutama barang-barang
pribadi kami, bahan dan alat masak. Semua kami pindahkan ke dalam ruangan kelas
yang ada di pinggir bumi perkemahan.
Sore hari, hujan masih saja lebat.
Aku duduk di bawah papan tulis sambil memeluk lututku. Senior dan teman-teman
regu ku masih sibuk berlalu lalang merapikan barang-barang.
“Kenapa, Ne?” pertanyaan yang sama setiap mereka melintas di
depanku.
“Cuma kedinginan. Emang gini saya gak bisa terlalu dingin.
Gakpapa. Ini biasa kok.” Jawabku. Mereka mengangguk dan pergi lagi.
“Sebentar ya.” Hanya Silla yang tidak mengangguk dan
terburu-buru keluar sesaat setelah kujawab pertanyaannya.
Kusandarkan kepalaku ke dinding dan
menghadap pintu. Silla datang lagi sambil
menyeringai lebar dan diikuti Kak Rayan dibelakangnya. Aku kaget kemudian
membenarkan posisi duduk. Mereka duduk di hadapanku.
“Ini, kubawain Kak Rayan. Mungkin aja sembuh abis ketemu.”
Silla kemudian beranjak pergi meninggalkan kami berdua. Kak Rayan membuka
jaketnya dan menyodorkannya padaku. Memberi kode agar kupakai. Aku tertawa
terbahak. Ini seperti sinetron.
“Kok ketawa sih dek?” aku memperhatikan baju seragam
pramukanya yang dikenakannya.
“Udah kakak aja yang pake. Itu seragamnya basah juga. Mana
lengan pendek lagi.” Ku sodorkan kembali jaketnya.
“Udah pake aja. Kakak abis ini langsung ke rumah ganti baju
kok. Rumah kakak deket aja dari sini. Udah pake aja ya adik kecil.” Dia
mengelus kepalaku dua kali, menyipitkan matanya dan melebarkan senyumnya. Manis
sekali.
Setelah itu, Kak Rayan beranjak
pergi. Aku terus memperhatikan sampai dia hilang dari ambang pintu.
---
Aku dan Silla saling bantu merapikan
jilbab. Setelah itu, kami sarapan. Tidak percaya rasanya sudah lima hari dan
ini hari terakhir. Padahal awalnya kami tidak betah tapi hari ini bahkan serasa
tidak ingin pulang.
Mengenai Kak Rayan, aku ingin bertemu
dengannya sekali lagi sebelum pulang. Tapi jaketnya sudah ku kembalikan tadi
malam. Tidak ada lagi alasan yang tepat. Tiba-tiba Bunda datang mencariku.
Cepat-cepat aku keluar tenda. Bunda memelukku erat. Jangan-jangan ada
hubungannya dengan Kak Rayan.
“Bunda kenapa?”
“Disuruh Rayan dek. Dia hari ini perpisahan di sekolahnya,
SMA 1 Bantimurung. Jadi ga bisa datang. Katanya tolong pelukin Inne buat dia.”
Aku
tersentak. Bahkan Kak Rayan lebih tua dari yang ku pikirkan. Ini hari terakhir
dan kami tidak bertemu lagi. Ada rasa kehilangan dan penyesalan yang entah
datang dari mana. Tiba-tiba aku rindu. Bukan. Ini bukan perasaan cinta. Kita
terpaut umur yang sangat jauh dan aku hanya sebagai ‘adik kecil’ untuknya. Di
mataku, dia tetap ‘kakak kece yang bidang
dan jago semaphore’.
---
Setelah
Jambore, kukira kami tidak akan bertemu lagi. Ternyata kami dipertemukan lagi
di event-event lain. Sempat kami
bertemu di suatu event dan aku hanya
bisa melihat kegiatan dari dalam tenda karena sakit. Kak Rayan mendatangiku dan
membawakan segelas susu ke dalam tenda. Kami duduk berdua berbincang sambil
mengamati kegiatan yang berlangsung di luar tenda.
Setelah kami
bertukar nomor handpone, Kak Rayan beranjak pergi. Aku terus memperhatikan punggung
bidangnya sampai Kak Rayan hilang
dari kejauhan.
---
“Kak, Inne mau pindah sekolah ke Kalimantan.” Aku dengan ragu
mengabari hal itu ke Kak Rayan.
“Lah kok pindah dek? Ya ampun dek jangan pindah gih”
Aku menaruh handpone dan kembali
merapikan koper yang akan kubawa besok. Ada perasaan gelisah saat kuabaikan
pesan singkat Kak Rayan yang mencoba mencegahku untuk tidak pindah sekolah.
Selang beberapa menit, aku kembali meraih handpone dan membalas pesan
singkatnya.
“Yahhh, surat pindahnya udah terlanjur dikeluarkan kak. Inne
ikut mamah ke Kalimantan.” Sent!
“Yah jangan dong. Jangan pindah. Kak Rayan jangan ditinggal
dong.”
Kuhempaskan handpone dan aku berjanji
tidak akan membuka pesan Kak Rayan
sampai besok pagi bahkan sampai aku berpijak di Kalimantan.
---
Akhirnya kupijakkan
kakiku untuk pertama kalinya di tanah Kalimantan ini. Segera kurogoh tas untuk
mengambil handpone dan mengabari Kak Rayan.
“Iya dek, Kak Rayan tunggu Inne pulang ke Sulawesi lagi
pokoknya.” Aku mengerti basa-basi ini. Tapi basa-basi itu terus diulang pada pesan
singkat di hari-hari berikutnya.
“Tunggu Inne pulang pokoknya.”
“Jangan sama yang lain ya, Kak Rayan selalu tunggu Inne
pulang.”
"dek, Kak Rayan tunggu Inne pulang"
“Cepat pulang dek ya, nanti Kak Rayan ajarkan semaphore
sampai jago.”
dan begitu seterusnya.
dan begitu seterusnya.
Lama-lama, semua jadi begitu
membosankan. Aku mulai sedikit demi sedikit mengabaikan pesan singkatnya. Disisi
lain, aku juga lebih memusatkan perhatianku ke pacar baruku yang sekelas
denganku di sekolah yang baru.
---
---
Waktu
bergulir begitu cepat. Aku kini sudah kelas 2 SMA. Kak Eki tiba-tiba
menelponku. Memberitahu kalau besok Kak Rayan akan melangsungkan pernikahan.
Aku kaget sekagetnya.
“Kamu cemburu ya? Rayan dulu memang sering cerita tentang
kamu. Puji-puji kamu, bahkan sering bilang ‘pokoknya
aku mau deh tunggu Inne pulang, dewasa, terus aku lamar’ begitu katanya.
Tapi lambat laun, Rayan mulai berpikir ‘ah
kayaknya Inne cuma harapan yang sia-sia, deh’ dan akhirnya Rayan mulai
mencoba pindahkan perasaannya ke orang lain. Ya sama yang sekarang, calon
istrinya.”
Kalimat
perkalimat yang dilontarkan Kak Eki seperti cambukan, entah mengapa. Selama
ini, kenapa aku tidak berpikir sejauh itu? Semua perhatian, yang kuanggap
basa-basi, ternyata menyimpan maksud yang sebenarnya kuharapkan juga tapi baru
kupahami sekarang.
“Kak Rayan, Inne baru sadar pada kalimat ‘aku menunggumu’
yang sering Kak Rayan sampaikan dalam pesan singkat. Kak, Inne baru paham
sekarang. Kak, Inne sebenarnya mengagumi Kak Rayan jauh sebelum Kak Rayan
mengagumi Inne duluan. Dari pertama kali bertemu, dari pertama kali Kak Rayan
kepakkan bendera semaphore, dari pertama kali Kak Rayan mengembangkan senyum, dan
dari pertama kali Kak Rayan membuka pembicaraan. Kenapa cepat sekali Kak Rayan
putuskan menikah? Kak, tunggu Inne sebentar lagi kak. Inne bukan harapan yang
sia-sia kak. Inne hanya terlambat sadar, kurang peka, dan masih kekanak-kanakan
untuk masuk ke dalam rencana hebat Kak Rayan. Tunggu Inne lagi, Kak. Sampai Inne
cukup dewasa memahami maksud Kak Rayan.” Dengan cepat ku ketik pesan itu yang
overload jika dikatakan pesan singkat. Seketika aku sadar, pesan itu tidak
layak untuk dikirim. Itu hanya pesan gila layaknya bom yang akan meledakkan rasa
maluku. Pesan itu segera kuhapus dan menghapus nomor handpone Kak Rayan juga.
Sedih rasanya.
Tiba-tiba aku rindu dengan semua kalimat ‘aku menunggu’ dari Kak Rayan. Tiba-tiba
aku ingin belajar semaphore lagi bersama Kak Rayan. Tiba-tiba ingin kuulang
semua kenangan-kenangan perkemahan bersama Kak Rayan. Benar saja, terkadang pengakuan
berartinya seseorang dalam hidup kita memang harus disadarkan oleh sebuah
kehilangan yang dahsyat.
***
Inne Marissa Aryanti
ternyata cinta itu bahaya iya bu . hiiii, mengerikan .
BalasHapusjgn panggil ibu na piang :( kalo km kupanggil bapak haha
Hapus