cerpen - Balikpapan Tahun 2050


“Iya Nak. Sabar aja dulu disana. Nanti Bunda jemput jika kondisi disini sudah agak membaik.” Jelas Bunda
“Tapi Bunda, Kia kuliah disana. Kia tidak betah lama-lama di sini!” Bantahku
“Azkiya! Tapi kondisi disini masih sangat parah, Nak! Sabar. Kuliah bisa ditunda.” Tiba-tiba Bunda mematikan telepon.

            Kuhempaskan handpone ku ke kasur.kupandang keluar jendela. Hujan turun semakin deras. Pikiranku semakin kacau. Keadaan Kota Balikpapan semakin hancur. Entah apa yang harus ku perbuat sebagai anak sang Walikota untuk Kota ku sendiri.

            Indonesia memang tanah surga. Balikpapan salah satunya. Punya kekayaan minyak dan kekayaan batu bara yang berlimpah. Tapi hutan-hutan ditebang dan digali. Membuat kondisi geografis Kota Balikpapan tidak lagi menjadi paru-paru dunia. Lubang-lubang besar dimana-mana akibat beberapa oknum yang tidak bertanggungjawab.

            Seluruh perusahaan tambang minyak dan tambang batu bara telah diambil alih sepenuhnya oleh orang barat. Jadi apa bedanya dengan menjajah? Mempekerjakan orang-orang Indonesia tapi menggaji dengan tidak semestinya. Mengurangi pemasukan daerah. Seharusnya sebagai warga Bailikpapan, mereka bisa mengelolah sendiri sumber daya yang ada di Balikpapan. Tapi sudah terlambat untuk disadari. Betapa bodohnya rakyat zaman sekarang. Sekali lagi, seluruh perusahaan tambang minyak dan tambang batu bara telah diambil alih sepenuhnya oleh orang barat.
~~~

            Sebelum Ayah menjadi Walikota, kita pernah tinggal di Perumahan Balikpapan Regency. Tapi sekarang perumahan itu tidak berpenghuni lagi. Jadi siapa yang akan tenang jika tinggal di kawasan pertambangan yang harus mendengarkan ngauman mobil-mobil raksasa tiap hari? Para Penghuni memilih untuk berpindah keluar kota.

            Balikpapan tahun 2050. Sangat suram. Terdapat lubang-lubang kecil jika tampak di luar angkasa. Tidak ada lagi bahasa Indonesia. Semua orang menggunakan bahasa Inggris. Gedung-gedung pencakar langit dimana-mana. Tentunya sangat merusak alam saat pembangunannya. Bukit Soeharto yang dulunya hanyalah hutan, sekejap saja menjadi rumah-rumah bertingkat.

            Balikpapan tahun 2050. Hanya tersisa orang-orang Indonesia yang bodoh. Yang mau diperbudak oleh penjajah. Yang hanya memikirkan masa sekarang. Di iming-imingi uang berlimpah demi merusak alamnya sendiri. Apa pedulinya dengan alam dan kondisi geografis? Apa pedulinya dengan kesehatan dan dirinya sendiri? TIDAK ADA! Dasar! Orang-orang Indonesia yang sangat bodoh. Tapi tidak dengan Ayahku. Ayah terus memutar balikkan otak agar lubang-lubang kecil yang tampak dari luar angkasa dapat tertutup kembali. Agar orang-orang bodoh itu dapat bekerja untuk Negara. Bukan untuk penjajah dan dirinya sendiri. Agar orang-orang bodoh itu dapat berpikir cerdas, sadar dan memikirkan masa depan. Ayah terlalu pintar untuk tinggal bersama orang-orang bodoh di Balikpapan yang sudah tidak ada harganya lagi. Tapi Ayah terus berpikir keras agar semua yang ingin dilaksanakannya dapat tercapai dengan baik.
~~~

            Untuk sementara waktu, Ayah menyuruhku untuk tinggal bersama sepupuku, Abang Misbah dan istrinya di Makassar. Ayah takut jika aku ditangkap oleh orang barat dan dijadikan bahan sandera . memang beberapa orang barat sempat mengancam Ayah. Akan membunuh Bunda jika tidak menyerahkan lahan-lahan penting yang bisa dikeruk. Tapi Ayah tetap tidak mau menjual lahan-lahan milik negara itu. Ayah tidak tergiur dengan uang yang berlimpah. Sekali lagi, Ayahku terlalu pintar untuk tinggal di Kota Balikpapan.

            Aku tidak suka tinggal bersama Abang Misbah dan istrinya yang selalu bertengkar. Hingga kuputuskan untuk pulang sendiri ke Balikpapan dengan uang tabungan pribadiku. Akhirnya aku kabur dari rumah Abang Misbah dan pergi sendiri ke Airport. Aku tidak peduli dengan keadaan disana.
         
            Sampai di Sepinggan Airport, tidak ada lagi Bahasa Indonesia terdengar. Semua orang menggunakan Bahasa Inggris. Sangat miris. Perlahan kusadari ada yang menguntitku. Dua orang berkacamata hitam dengan kemeja yang berbeda. Sepertinya orang ini tahu akan diriku. Kupercepat langkahku menuju pintu keluar yang sepi, mereka pun mempercepat langkahnya. Aku menoleh. Kuberanikan untuk bertanya “Kalian siapa?” Aku menggunakan Bahasa Indonesia karena aku sama sekali tidak tahu Bahasa Inggris. Tidak ada respon. Tapi salah satu dari mereka menjulurkan arlojinya. Seketika ada yang mengenai bahuku. Perlahan aku terjatuh dan tidak sadarkan diri.

            Kubuka mataku perlahan. Tapi tidak ada yang bisa kulihat. Aku juga tidak bisa berteriak. Mulutku dibalut lakban. Kedua kaki dan kedua tanganku diikat. Sial! Aku benar-benar menjadi bahan sandera. Aku meronta dan terus meronta. Tiba-tiba penutup mataku dibuka. Lampu dinyalakan. Gedung Dome terlihat sangat jelas. Perlahan lakban di mulutku dilepaskan. Aku teriak sekencang-kencangnya.
“Everyone can’t hear you here.” Kata seorang yang memakai kemeja putih.
“Lepaskan aku, Bajingan!” Aku terus meronta.
“What did her said?” Tanya seseorang yang tadi pada temannya yang menggunakan kemeja hitam.
“I dunno. I think she said that you’re so ugly.” Jawabnya
“Oh damn!”

            Seseorang berkemeja hitam mengeluarkan handpone dan menekan angka-angka yang tidak asing.
“Hallo. How are you? I want to tell you something.” Dia diam sejenak
“Your daughter in our handle now!” Lanjutnya
Aku terkejut. Aku tahu dia sedang berbicara dengan Ayah. Aku terus menerus menangis. Air mata yang tidak dapat kuseka. Tidak ada gunannya.
“Exchange your daughter with what we want! If you don’t do it, we will kill your daughter.” Lalu handpone nya disodorkan padaku.
“Say hello to your father.” Ucapnya pelan.
“Ayah jangan berikan apapun yang diminta bajingan-bajingan ini!”
“What did your daughter said?” Tanyanya kepada Ayah lalu mematikan teleponnya.

            Keesokan paginya, Ayah datang ke gedung Dome dengan wajah yang sama sekali tidak bersemangat. Ayah benar-benar menukarku dengan selembar kertas yang mencangkup lahan-lahan penting yang diminta mereka. Sialan! Aku merasa bodoh sekali. Ayah juga tampak kelihatan kecewa padaku. Lengkap sudah kehancuran Kota Balikpapan karenaku. Ayah menukar apa yang dipertahankannya selama ini dengan nyawaku. Jadi apa bedanya aku dengan orang Indonesia yang menjadi budak? TIDAK ADA! Sama sama BODOH! Sekali lagi, semua hancur karenaku. Penjajah terkekeh puas. Ayah mendekapku dalam-dalam. Menyeka air mataku. Menenangkanku. Takut kalau-kalau aku trauma atas kejadian ini. “Ayah, maaf.” Ucapku pelan. “Tidak ada yang perlu dipersalahkan, Nak. Mungkin sudah saatnya semua terjadi.”
Ayah tampak sedih. Sedih atas kebodohanku.
~~~
             Secercah cahaya menembus jendela kamarku. Cukup kuat untuk membangunkanku. Mengapa aku terbangun diantara Ayah dan Bunda? Mengapa aku ada di kamar mereka? Mengapa kita masih tinggal di perumahan Balikpapan Regency? Bukankan semua rumah sudah digerogoti oleh para penjajah? Aku beranjak dari tempat tidur dan membuka jendela kamar. Semuanya tampak segar pagi ini. Tidak ada ngauman mobil-mobil raksasa. Tidak ada juga galian. Semua tampak seperti biasanya. Apakah Ayah berhasil melawan penjajah sehingga semuanya dapat kembali seperti semula? Tapi mustahil bisa kembali seperti semula. Sangat mustahil.

            Aku berdiri di depan cermin yang sama tingginya dengan Bunda. Astagfirullah! Aku kecil? Mengapa aku tampak seperti anak SD? Bukankah aku sudah kuliah? Satu-satunya orang yang bisa menjawab semua pertanyaanku adalah Ayah. Kembali aku duduk diantara mereka. Kugerak-gerakkan tubuh Ayah agar segera bangun.
“Kia sudah bangun? Masih sakit?”
“Sakit?”
“Tadi malam Kia, kan, demam tinggi. Ingat? Ayah memindahkan dari kamarmu kesini karena kamu terus meronta-ronta.” Jelas Ayah
“Ayah bukan seorang Walikota?”
“Haha. Ayah hanya pemimpin perusahaan biasa, Nak. Bukan Walikota. Mungkin kamu bermimpi semalam akibat demam tinggi.” Ayah tertawa.

Aku masih belum percaya. Mimpi? Hanya sekedar mimpi? Ku ambil sebuah kalender yang berada diatas meja. Benar! Ternyata hanya sebuah mimpi. Ini tahun 2025. Bukan tahun 2050. Tapi apakah ini benar-benar hanya sekedar mimpi? Ataukah cuplikan masa depan jika kita menjadi rakyat bodoh, malas belajar dan tidak ingin lebih menghargai alam?



Balikpapan, Agustus 2013

Komentar